ADITYA BUDIANSYAH

Sabtu, 20 Juni 2009

POLUSI UDARA

Udara bersih adalah komponen yang amat vital bagi keberlanjutan kehidupan manusia. Betapa tidak, seseorang mungkin bisa memilih air yang akan diminum dan makanan yang akan dimakan sesuai dengan standar kesehatan. Namun, seseorang tidak mampu memilih apakah udara yang dia hirup sehat atau tidak.Untuk itulah negara wajib memenuhi hak warganya atas udara bersih tersebut. Namun, betapa terkejutnya bila kita membaca laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia yang baru saja diterbitkan oleh Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) pada September 2007.

Dalam laporan itu terlihat bahwa pada sepanjang 2006 di sepuluh kota di Indonesia (Jakarta, Surabaya, Palangkaraya, Pontianak, Pekanbaru, Semarang, Bandung, Medan, Jambi dan Denpasar), jangankan untuk memenuhi hak atas udara bersih,untuk memantau kualitas udara secara lengkap dalam satu tahun pun KLH tidak mampu melakukannya.Di Kota Pontianak terdapat 287 hari yang tidak diketahui kondisi kualitas udaranya, di Pekanbaru ada 237 hari yang tidak jelas kualitas udaranya. Bahkan di Kota Semarang pada sepanjang 2006 tidak bisa dipantau kualitas udaranya. Ketidaktahuan akan kualitas udara tersebut tentu membahayakan bagi pengambil kebijakan di tingkat lokal karena mereka tidak akan mampu mengambil kebijakan yang tepat dalam pengelolaan kualitas udara.

Logikanya, tidak akan mungkin seorang gubernur atau wali kota akan mengeluarkan kebijakan pengendalian polusi udara jika mereka sendiri tidak mengetahui bahwa udara di daerah atau kotanya sudah tercemar.Ketiadaan data tersebut diakibatkan oleh makin memburuknya kondisi stasiun pemantau kualitas udara (Air Quality Monitoring/AQM) di sepuluh kota tersebut. Salah satu sebabnya adalah alat tersebut tidak dirawat secara rutin. Padahal peralatan tersebut dahulunya dibeli dengan pendanaan yang berasal dari utang luar negeri.Proyek utang itu bermula saat terjadinya kebakaran hutan di Indonesia pada 1998 sehingga menimbulkan kabut asap ke negara tetangga.Setelah kejadian tersebut maka munculah kesepakatan Menteri Lingkungan Hidup se-ASEAN untuk melaksanakan pengelolaan kualitas udara dengan berbasiskan pada PSI (Pollutan Standard Index) atau Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) yang sama.Untuk dapat memiliki PSI atau ISPU tersebut maka KLH menjalin kerja sama dengan Austrian Energy untuk merancang sistem stasiun pemantau kualitas udara yang akan ditempatkan di 10 kota besar seperti tersebut di atas. Di Jakarta sendiri sebagai Ibu Kota negara terdapat lima stasiun AQM tetap dan satu stasiun yang bergerak.

0 komentar: